Pernah ada seorang teman yang main ke rumah dan menceritakan bahwa dia selesai melihat sebuah video di youtube yang mengatakan bahwa berpikir positif itu bahaya atau dikatakan dengan sebuah istilah Toxic Positivity, dan tidak setuju jika kita selalu berpikir positif sepanjang hari terhadap apapun yang akan terjadi dalam hidup kita. Karena itu sangat bahaya. Kemudian saya mendapatkan kiriman link youtube tersebut dan saya tontonlah sampai selesai.

Beberapa pendapat yang disampaikan dalam video, saya sangat setuju dan beberapa yang lain saya tidak sependapat.

Saya sangat setuju bahwa kita tidak bisa sepanjang hari selalu berpikir positif, sehingga menolak berfikir negatif adalah hal yang tidak natural.

Tetapi pertanyaannya apakah kita pernah berpikir positif sepanjang hari? Atau kita justru berpikir negatif sepanjang hari? Lebih dominan mana dalam sehari kita berpikir negatif atau berpikir positif?

Kalau  menurut saya, kenapa banyak buku, artikel, video atau yang lainnya untuk mengajak berpikir positif, karena umumnya kita dalam sehari lebih banyak berpikir negatif daripada berpikir positif.

Kalau kita mau jujur, banyak diantara kita sepanjang hari lebih banyak berpikir negatif daripada berpikir positif. Ini akan menjadikan perasaan kita menjadi negatif, akhirnya hari-hari kita tidak bisa melakukan sesuatu yang produktif dan mencapai hasil maksimal karena perasaan kita dipenuhi dengan emosi negatif.

Kenapa tidak bisa optimal? Karena saat kita lebih banyak berpikir negatif dan menimbulkan perasaan negatif, maka tubuh kita akan menganggap bahwa ada bahaya yang harus diantisipasi. Energi dalam tubuh yang sejatinya harus dialirkan ke semua organ tubuh untuk pertumbuhan dan perkembangan akan diubah alirannya lebih banyak ke tangan dan kaki.

Kenapa demikian? Karena tubuh sedang disiapkan untuk mengantisipasi adanya bahaya atau ancaman, sehingga perlu energi untuk fight atau flight, untuk melawan atau lari. Apa itu respon fight atau flight, dia adalah respon atau reaksi fisiologis yang terjadi sebagai respon akan adanya sebuah peristiwa yang dianggap membahayakan atau mengancam kelangsungan hidup kita.

Inilah kenapa saat kita dalam keadaan bahaya atau takut karena dikejar oleh penjahat (seandainya) atau sedang dikejar oleh hewan buas, kecepatan lari kita akan jauh lebih cepat dibandingkan jika kita lari dalam keadaan normal, bahkan kita bisa heran dengan kecepatan lari kita. Ini semua terjadi karena mekanisme pertahanan tubuh kita untuk bisa menyelamatkan diri atau mempertahakankan kelangsungan hidup kita, inilah respon fight atau flight.

Respon fight atau flight itu sangat kita butuhkan untuk mempertahankan hidup kita dari situasi bahaya. Tetapi respon ini baik dan bermanfaat hanya untuk waktu yang singkat atau sementara, tidak didesain untuk waktu yang lama. Jika respon ini bertahan lama, maka itu akan membahayakan kesehatan (fisik atau psikis) dan bahkan membahayakan hidup kita.

Saat serangan Pandemi Covid-19 gelombang kedua (varian delta), saat itu banyak sekali orang yang ketakutan, dan ini wajar karena memang situasinya menakutkan. Banyak kematian terjadi yang bisa kita lihat di berbagai media, di lingkungan kita atau bahkan ada saudara kita yang meninggal pada serangan gelombang kedua itu. Perasaan takut ini tentu hasil dari pikiran negatif, tetapi ini baik sebagai wujud antisipasi, sehingga kita rajin untuk menerapkan protokol kesehatan dan waspada menjaga diri.

Setelah serangan kedua selesai, berangsur kita kembali pada aktivitas normal dengan tetap menjaga protokol kesehatan. Tetapi ada yang sampai saat ini masih menyimpan ketakutan yang luar biasa, sampai tidak berani keluar rumah, ketakutan saat lihat kain warna hijau, takut saat lihat makam atau ada yang tidak berani bekerja lagi. Ini berarti pikiran negatif sudah mengganggunya dan sudah sangat tidak baik untuk kehidupannya. Pikiran negatif sudah mengendalikan kehidupannya.

Kejadian yang menyeramkan itu sudah tidak ada, tetapi dalam pikiran orang ini, kejadian itu tetap ada. Pikirannya masih dihantui kejadian yang menyeramkan itu, yang menjadikan pikiran dan perasaan negatif atau ketakuan itu muncul terus menerus. Meskipun kejadiannya secara nyata sudah tidak ada.

Kita harus tahu bahwa pikiran bawah sadar tidak bisa membedakan mana kejadian realita atau mana imajinasi, apapun yang dipikirkan dan dirasakan saat itu, itulah yang akan direspon oleh tubuh, meskipun realitanya sudah tidak ada.

Kalau seperti ini apa berpikir negatif itu baik? Atau berpikir negatif itu masih diperlukan saat ini?

Berpikir negatif itu boleh dan harus asalkan dalam porsi yang tepat dan terstruktur.

Kita masuk dalam kabin pesawat, ternyata kita tahu ada yang mencoba untuk bermain pintu darurat? Apa kita harus tetap berpikir positif? Atau kita akan berpikir negatif? Tentu kita harus berpikir negatif, bahwa kalau orang ini mainan pintu darurat terus menerus dan tidak diingatkan, ini akan membahayakan keselamatan semua penumpang dan kemudian kita mengingatkannya atau menyampaikan pada petugas di penerbangan.

Kita takut gagal untuk presentasi di depan kelas atau takut menghadapi sidang skripsi. Ini boleh sebagai bentuk kehati-hatian dan waspada, yang kemudian membuat kita menyiapkan segala keperluan untuk presentasi atau sidang skripsi, kita membaca ulang makalah atau skripsi kita, kita diskusi dengan teman yang sudah pernah presentasi di depan kelas atau yang sudah pernah menjalani sidang skripsi, kita berkonsultasi pada guru atau dosen pembimbing. Semua persiapan sudah matang dan secara sadar kita sudah siap menghadapinya.

Tetapi saat jadwal kita harus tampil, kita takut sangat berlebihan, yang menjadikan semua yang kita pelajari seolah hilang atau blank, apakah ketakutan hasil berpikir negatif seperti ini diperlukan? Tentu ketakuan seperti ini sangat mengganggu dan harus kita atasi.

Umumnya kita lebih banyak berpikir negatif, yang sebenarnya sangat berdampak buruk bagi kita, Untuk itulah kita perlu belajar untuk berpikir positif. Kita tidak perlu belajar berpikir negatif karena tanpa belajar berpikir negatif, sehari-hari kita juga sering berpikir negatif.

Untuk berpikir positif kita memerlukan sebuah upaya, karena memang lingkungan kita saat ini lebih banyak mengajarkan atau mengkondisikan kita untuk berpikir negatif, baik di lingkungan nyata atau di lingkungan media sosial.

Tidak ada yang mengatakan kita tidak boleh berpikir negatif, karena tanpa kita katakan, kita juga akan berpikir negatif. Kita perlu mengatakan mari berfikir positif karena kita terlalu sering berpikir negatif. Kita tetap perlu berpikir negatif dalam porsi yang tepat dan terstruktur, bukan dikendalikan oleh pikiran negatif.

Memang banyak kesalahan beberapa masyarakat yang mencoba untuk berpikir positif, sedang sebenarnya itu hanya bentuk pura-pura berpikir positif untuk  menutup perasaan negatif. Ini yang kurang tetap. (meskipun pura-pura bisa jadi baik asal tahu caranya he he)

Ketika kita memiliki perasaan negatif, kita tidak boleh langsung menutupnya dengan pikiran positif. Yang kita lakukan adalah kita menyadari terlebih dahulu bahwa kita sedang memiliki emosi negatif, kita kenali emosi negatif itu, kita akui bahwa kita memang memilki emosi negatif tersebut. Setelah itu baru kita lepaskan emosi negatif ini.

Setelah emosi negatif itu lepas, baru kita maknai dengan pikiran yang positif untuk menghadirkan emosi yang positif.

Jadi pikiran positif tidaklah untuk menutupi emosi negatif.

Emosi adalah energy in motion, energi yang butuh bergerak. Jika dia tidak bergerak keluar tubuh, dalam arti kita lepaskan, maka dia akan bergerak di dalam tubuh. Suatu saat jika semakin bertambah emosi negatif yang tersimpan dalam tubuh dan berputar seperti bola salju, yang semakin lama semakin besar maka akan sangat mengganggu potensi dan membahayakan tubuh kita.

Untuk itulah kita perlu untuk Berpikir Positif

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *