Kemarin saya memberikan sesi konseling kepada pasangan suami isteri yang berlangsung mulai pukul 13.00 sampai dengan 17.00, selama 4 (empat) jam tersebut tanpa jeda sekalipun kecuali salah satu dari kami meminta ijin untuk ke toilet.
Sebelumnya saya sudah pernah memberikan konseling pada isteri melalui telepon yang berlangsung lebih dari 1 (satu) jam. Dari sesi itu isteri menceritakan gambaran besar masalah yang dialami dalam rumah tangga mereka. Yang pada intinya si isteri merasa tersiksa dengan keadaannya sekarang dan ingin sekali suami bisa berubah. Menurut isteri masalah terbesar ada pada suami yang tidak pernah menghargai dirinya dan tidak bisa menerima dirinya dengan penuh perhatian dan kasih sayang.
Dalam telepon tersebut saya sampaikan, bahwa masalah keluarga ini tidak akan pernah bisa diselesaikan hanya oleh salah satu pihak (isteri saja) karena ini masalah berdua (suami dan isteri). Kedua dari mereka harus menyadari bahwa mereka memiliki masalah dan bersedia untuk mengatasi masalah tersebut. Saya sampaikan saya sudah cukup memahami masalah ini dari persepsi isteri, tetapi tentu saja saya juga perlu mendengar dan memahami masalah tersebut dari persepsi suami.
Saya sampaikan bahwa saya bisa memberi waktu sesi konseling mereka berdua, jika memang keduanya bersedia hadir, dan tidak hanya salah satu dari mereka.
Beberapa hari kemudian, saya menerima pesan whatsapp yang berisi 40 (empat puluh) halaman pdf tentang masalah keluarga yang mereka alami, yang ditulis (diketik) oleh suami.
Karena kesediaan mereka berdua menjalani konseling, maka saya pun memberikan jadwal konsling tatap muka untuk mereka berdua. Sebelum sesi konseling tatap muka tentu saya harus membaca dan memahami maksud dari cerita suami yang ditulis dalam naskah 40 (empat puluh halaman) tersebut.
Dari naskah itu, sangat bisa dipahami bahwa menurut suami, masalah keluarga ini terjadi karena perilaku isteri yang membuat suami menjadi tidak bisa percaya, marah, benci dan 14 (empat belas) daftar masalah lainnya yang dialami oleh suami.
Dalam sesi konseling itu, saya mengajukan satu pertanyaan yang harus mereka jawab bersama, apakah mereka ingin mempertahakan pernikahan mereka? Dan keduanya menjawab iya. Andai salah satu dari mereka menjawab tidak, tentu sesi konseling tidak akan bisa dilanjutkan. Karena masalah rumah tangga ini hanya bisa selesai jika kedua dari mereka punya kesadaran dan komitmen untuk melanjutkan pernikahan mereka.
Mereka memiliki cinta di hatinya yang sangat tampak, tetapi rasa cinta itu telah terpendam dan terkubur oleh berbagai emosi negatif yang telah mereka himpun dan mereka kumpulkan selama 10 (sepuluh tahun) pernikahan ini.
Suami bersikukuh bahwa sumber masalah adalah isteri dan begitu juga isteri yang bersikukuh bahwa sumber masalah adalah suami. Mereka saling menuding satu sama lain, bahwa pasangannya lah yang bermasalah dan perlu untuk berubah.
Saya sampaikan, bahwa saya tidak akan bisa membantu ketika yang meminta bantuan adalah orang lain, meskipun itu suami atau isteri mereka. Saya hanya bisa membantu jika diantara mereka mampu meningkatkan kesadaran bahwa mereka memiliki sikap, perilaku atau emosi yang bermasalah yang menyebabkan masalah keluarga ini, dan bersiap untuk berubah.
Saya sampaikan, bahwa cinta bukanlah sebuah transaksi yang harus mendapatkan timbal balik dari pasangan, itu bukanlah cinta, tapi itu sebuah transaksi jual beli. bahwa cinta adalah sebuah bentuk aktualisasi diri kepada pasangan, kita memiliki kebahagiaan dalam hidup dan selalu ingin berbagi kebahagiaan kepada pasangan, kita bahagia melihat pasangan kita bahagia. Bukan kita memiliki masalah dalam diri dan menuntut pasangan melengkapi dan memberi kebahagiaan pada kita.
Pada akhir sesi, saya sangat bersyukur, mereka mampu meningkatkan kesadaran masing-masing, bahwa dirinya sendirilah yang harus berubah, dirinyalah yang harus memperbaiki diri sendiri, untuk mempertahakan keluarga ini, bukan menuntut pasangan untuk berubah.
Sebelum keluar ruang konseling, saya memberikan 5 (lima) tugas yang harus dikerjakan selama 2 (dua) minggu ini, untuk memperbaiki hubungan rumah tangga mereka.
Saya berulang kali menemui, tidak hanya dalam kasus suami isteri, tetapi juga kasus anak, bahwa seringkali orang lain (isteri, suami, orang tua atau yang lain) merasa bahwa pasangannya, anaknya, atau orang lainlah yang bermasalah dan perlu berubah. Mereka melihat bahwa sumber masalah bukanlah dirinya tetapi orang lain. Sedang mereka sendiri tidak mau meningkatkan kesadaran dan mengakui bahwa mereka juga ikut andil menjadi penyebab dan atau memperbesar masalah yang terjadi.
Syarat utama kita bisa menyelesaikan masalah adalah kita sendiri menyadari bahwa kita memiliki masalah dan bersedia dibantu, kemudian berkomitmen untuk bisa berupaya keluar dari masalah tersebut. Tanpa kesadaran itu, orang lain tidak akan bisa membantu. Masalah itu bukan terletak jauh disana (pada orang sekitar kita), tetap dia ada disini, dalam diri kita sendiri.
Ini adalah cerminan bagi kita sendiri, bahwa ketika kita memiliki masalah dalam situasi apapun, kita harus berkaca, kita harus berbenah, apa yang perlu kita lakukan, apa yang perlu kita perbaiki, bukan justru menuntut orang lain untuk berubah.