Pernah tidak saat kita pulang kampung kemudian saat makan masakan Ibu, rasanya sangat nikmat sekali, padahal mungkin secara pandangan menu tidaklah selezat makanan yang biasa kita konsumsi di perkotaan?
Atau pernah tidak, kita melihat penjual “pentol” yang menurut kita legendaris, karena itu penjual sejak kita kecil sampai dewasa, masih tetap istiqomah menjual pentol yang dulu sering kita beli, bahkan secara wajah, pakaian, motor yang dipakai, seolah hampir tetap sama dan tidak berubah dalam pandangan kita. Saat kita makan pentol itu, rasanya sangat enak sekali?
Atau pernah tidak, kita melihat ada orang tua yang sudah berusia lanjut, yang kemudian semua anaknya bekerja di luar kota dan tidak mau diajak pindah (keluar dari kampungnya) untuk ikut tinggal bersama salah satu anaknya?
Umumnya mayoritas dari kita pernah mengalami atau melihat kejadian yang hampir sama dengan pertanyaan di atas. Sebenarnya itu bukanlah hanya masalah jenis masakan ibu, bukan hanya sebuah pentol dan atau bukan hanya sebuah nama kampung atau sekedar rumah tempat tinggal.
Saat kita makan masakan ibu, sebenarnya di pikiran bawah sadar itu bukan hanya tentang makananya saja, tetapi saat kita makan, kita juga sedang membangkitkan memori atau perasaan masa lalu yang terikat dalam rasa, aroma, atau menu masakan tersebut.
Saat kita makan, kita membangkitkan perasaan bahagia saat kita digendong kemudian disuapin, kita dipangku saat kita sedang makan, kita diajak bercanda saat kita sedang makan, dulu jauh saat kita masih kecil, yang mungkin secara sadar kita sudah melupakan kejadian tersebut, tetapi memori itu masih tetap tersimpan rapi di pikiran bawah sadar kita. Perasaan-perasaan bahagia, senang, haru dan perasaan positif lainnya, itulah yang sedang kita rasakan sehingga kita sangat menikmati makanan tersebut.
Begitu juga ketika kita sedang makan pentol, yang dulu saat kecil, sering kita makan, saat sekarang kita makan pentol itu, apalagi dijual oleh orang yang sama saat kita masih kecil, dengan aroma yang sama/mirip atau dengan motor yang sama, itu juga akan membangkitkan memori atau perasaan bahagia saat kita bermain bersama teman-teman, berlari-lari dengan bahagia tanpa beban kehidupan, bercanda kesana-kemari sambil makan pentol tersebut.
Tidak jauh berbeda, ketika kita melihat ada orang tua yang sudah lanjut usia, yang kemudian semua anaknya bekerja di luar kota dan tidak mau diajak pindah (keluar dari kampungnya) untuk ikut tinggal bersama salah satu anaknya, meskipun mungkin rumah anaknya jauh lebih bagus, jauh lebih bersih dan jauh lebih indah.
Ini bukanlah hanya masalah materi fisik, masalah kebersihan rumah, masalah kekayaan, warna rumah atau yang lainnya, tetapi ini sangat berhubungan dengan kenangan masa lalu, ada rasa getar pahit manis kehidupan, ada senang dan sedih yang sudah dilewati di rumah itu. Itulah sebenarnya yang sulit untuk ditinggalkan. Karena pikiran bawah sadar sudah sangat mengenali rumah itu, segala aspek yang ada disana, sehingga itu akan menjadi zona nyaman bagi orang tua tersebut.
Ketika ada emosi yang intens dalam sebuah kejadian, maka kejadian tersebut akan mudah diakses/diingat. Dan ketika kejadian tersebut berisi emosi positif maka kita akan cenderung ingin mengulangi lagi dan ketika kejadian tersebut berisi emosi negatif maka kita akan cenderung untuk menghindari kejadian yang mirip dengan kejadian tersebut.
Kejadian yang dimaksud disini bisa berupa (tempat, waktu, suara, gambar, siapa yang terlibat, bau, rasa, sensasi fisik atau apapun) yang mampu menjadi trigger/pencetus bagi kita untuk membangkitkan kenangan (emosi/perasaan) di masa lalu.
Untuk itulah saat kita marah kepada seseorang, maka kita sangat mudah mengingat kejadian-kejadian di masa lalu yang membuat kita marah. Dan kita akan bilang, dia selalu membuat saya marah sejak dulu dan tidak pernah berubah. Meskipun kejadian tersebut sudah terjadi sekian puluh tahun yang lalu, tetapi masih sangat segar diingatan kita. Jika demikian, sebenarnya rasa marah di masa lalu ini belumlah padam, dia hanya ditekan ke dalam diri, dan hanya tinggal menunggu trigger/pencetus saja untuk membongkar kembali rasa marah tersebut.
Lekatnya emosi pada memori seseorang, ini sangat bisa kita manfaatkan untuk mendidik anak. Ketika kita meminta anak belajar, maka kita harus mengasosiasikan belajar ini dengan perasaan/emosi positif (bahagia, senang, semangat dan lainnya). Dengan mengasosiasikan belajar dengan perasaan bahagia maka anak akan cenderung untuk senang belajar.
Tetapi justru banyak diantara kita yang meminta anak belajar dengan cara memarahi, memukul atau merendahkan anak dan berbagai hal negatif yang lain, yang sebenarnya itu akan mengasosiasikan perasaan negatif dengan belajar, dan itu akan menjadikan kenangan/memori yang berisi emosi negatif dalam diri anak. Ketika ini sering kita lakukan, apakah ke depan anak akan senang untuk belajar? Kemungkinan besar anak justru akan membenci dan tidak mau untuk belajar.
Ketika kita meminta anak belajar atau sedang membantu anak belajar, rangkul mereka, pegang halus punggung atau kepala mereka, ajak mereka belajar tapi dengan bercanda ringan, bisikkan kamu sangat hebat, katakan ayah/bunda mencintaimu dan atau aktivitas lainnya yang bisa membangkitkan perasaan bahagia, senang dan emosi positif yang lain. Dengan begitu anak akan mengasosiasikan belajar dengan sesuatu yang menyenangkan dan anak akan cenderung ingin belajar kembali.