Pada acara Webinar “Pencegahan Perundungan dan Kekerasan Seksual pada anak” yang saya diberi kesempatan sebagai narasumber pada acara tersebut, saya menyampaikan bahwa satu hal penting yang harus diberikan kepada anak adalah kata-kata pujian atau dukungan.

Ini adalah salah satu dari lima bahasa kasih yang dibutuhkan oleh anak, untuk mengisi baterai kasihnya. Sehingga dengan terpenuhinya baterai kasih dalam diri anak, maka itu akan memberikan rasa aman yang dibutuhkan oleh anak. Rasa aman inilah yang akan menjaga anak untuk bisa bertumbuh dengan optimal untuk mengekspresikan diri mereka di lingkungannya.

Ketika rasa aman ini tidak didapatkan oleh anak, maka anak akan mulai tidak percaya diri, merasa malas, tidak berharga dan mulai menunjukkan berbagai sikap atau perilaku negatif yang lain.

Kembali membahas tentang pujian, salah seorang peserta yang juga seorang pendidik/guru bertanya, bukankah pujian itu justru akan membuat anak menjadi bangga diri dan tidak berusaha lebih baik lagi?. Jika memang hasil karya atau nilai mereka memang tidak bagus, kemudian kita puji, bukankah itu membuat dia merasa puas dengan hasilnya dan tidak mau berusaha kembali?.

Saya pernah mengikuti seminar parenting dan narasumber mengatakan bahwa pujian tidaklah baik untuk anak apalagi ketika pujian diberikan pada hasil karya atau nilai yang tidak optimal atau kurang bagus.

 

Begini pendapat saya.

Ketika anak mengerjakan sesuatu, contoh menggambar. Kemudian anak sudah berusaha susah payah untuk bisa menggambar, dan menunjukkan karya tersebut pada orang lain (orang tua atau guru atau siapapun), tetapi orang tersebut justru mengatakan bahwa karya atau hasil gambar anak jelek?

Bagaimana perasaan anak? Dan apakah selanjutnya anak akan menggambar lagi?

Seorang anak yang sudah berusah belajar matematika karena besok akan mengikuti ujian matematika. Dengan susah payah dia belajar, ternyata hasil atau nilai ujian matematika hanya 60 dari nilai maksimal 100. Harapan anak dan orang tua nilai bisa sampai 90.

Bagaimana perasaan anak saat tahu nilainya hanya 60?. Kemudian dia menyampaikan pada orang tua bahwa nilainya 60, selanjutnya orangtua bilang, kok hanya 60?.

Bagaimana perasaan anak saat mendengar itu? Apa yang dilakukan anak setelah itu? Apakah anak akan semakin rajin belajar?

Dari contoh di atas, besar kemungkinan ketika anak tidak mendapatkan hasil yang sesuai dengan harapannya, maka anak akan kecewa, sedih atau bahkan marah terhadap dirinya sendiri karena hasil tersebut.

Setelah kecewa, sedih atau marah, kemudian anak sama sekali tidak mendapatkan dukungan penguatan dari orang sekitarnya (terutama orang tuanya) dan bahkan cenderung anak mendapatkan perkataan yang memperkuat rasa kecewa, sedih, marah atau rendah dirinya. Maka perasaan anak akan semakin hancur.

Jika itu sering terjadi, maka pada titik tertentu anak akan memberi label pada dirinya, bahwa dia tidak bisa menggambar atau tidak bisa matematika.

Kemudian, apakah anak akan semangat belajar menggambar atau belajar matematika?

Besar kemungkinan anak tidak akan semangat belajar lagi, karena buat apa belajar, kan saya memang tidak bisa, mau belajar bagaimanapun nilai juga tetap jelak, karena saya memang tidak bisa.

Akhirnya dia meyakini atau telah tertanam belief (keyakinan) dalam dirinya bahwa dia tidak bisa menggambar atau tidak bisa matematika.

Anak kemudian tidak akan serius belajar menggambar atau belajar matematika, sehingga nilainya semakin buruk atau jelek. Berlanjut anak semakin yakin (memperkuat keyakinan) bahwa dirinya tidak bisa menggambar atau tidak bisa matematika.

Terus berputar lagi, anak tidak akan serius belajar menggambar atau belajar matematika lagi dan nilainya akan semakin buruk atau jelek lagi. Begitu seterusnya, berputar terus menerus. Dan belief tersebut semakin kuat.

Jika ituterjadi terus menerus, maka akan menjadi lingkaran “setan” yang semakin memperkuat keyakinan anak, bahwa dirinya memang tidak bisa menggambar atau tidak bisa matematika.

Akhirnya nilai dalam karya menggambar atau matematika akan menjadi semakin buruk atau jelek, karena dia percaya bahwa dia tidak bisa dan kemudian tidak akan pernah berusaha lagi.

Kemudian anda bisa melanjutkan cerita diatas dan seterusnya.

Beda cerita, jika saat kita tahu, anak menunjukkan nilainya yang dia merasa belum terlalu bagus atau tidak sesuai dengan keinginan atau ekspektasinya, tetapi kita tetap mendukung dan memberi pujian. Setelah kita memberi dukungan atau pujian kita tidak berhenti pada pujian atau dukungan saja, tetapi kita juga memberikan saran perbaikan dan motivasi pada anak.

Iya nak, ini gambar kamu sudah lebih bagus dari kemarin, nilai matematika kamu sudah sangat meningkat dari pada sebelumnya, ini hasil yang sangat bagus untuk saat ini, tetapi ayah atau bunda atau Bu Guru atau Pak Guru yakin dan percaya, bahwa kalau kamu mau berusaha lebih serius dan optimal, maka ke depan hasilnya akan lebih bagus lagi dari sekarang.

Kita mendukung dan memberi pujian akan upaya dan usaha anak bagaimanapun hasilnya, kemudian kita memberikan motivasi dan saran perbaikan untuk anak, sehingga ke depan hasilnya akan lebih bagus.

Kemudian Ibu Guru yang bertanyapun menyampaikan, sepertinya bukan hanya anak-anak murid yang perlu dukungan dan pujian Pak, sepertinya kamipun sebagai Guru perlu diapresiasi hasil karya dan kerja keras kami, meskipun kadang hasilnya belum terlalu bagus, sehingga kami bisa termotivasi untuk memperbaiki karya kami.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *